Fenomena Kerakusan Industri Dalam Tradisi Rewang

Tradisi rewang merupakan istilah dari masyarakat jawa dalam suatu kegiatan yang ditujukan untuk menopang dalam mensukeskan suatu acara hajatan besar seperti sunatan dan pernikahan. Hal ini lebih dominan terhadap kata gotong royong dan kerja sama yang melibatkan kaum laki-laki dan perempuan. Sebagai salah satu warisan budaya, tradisi rewang diteruskan turun-temurun. Namun, uniknya dari tradisi ini tergantung dari seberapa kerasnya para perempuan bekerja. Sebab mereka harus menyiapkan ratusan hidangan (tergantung ramainya undangan) di belakang (dapur) untuk masyarakat yang terlibat. Dalam istilah jawa, para pekerja di belakang (dapur) disebut dengan nama konco wingking.

Prosesi tradisi rewang yang dilakukan secara turun temurun ini berlandaskan dari spirit paguyuban. Seorang warga kampung yang menggelar pesta pernikahan untuk anaknya alias ewuh mantu, akan dibantu oleh warga lainnya secara gotong royong. Karena itulah muncul pula pola atau mekanisme baru dalam masyarakat, yaitu pola simbiosis mutualisme yang terjalin erat di antara mereka. Melalui kegiatan rewang ini akan memunculkan sikap saling gotong royong antara satu sama lain tanpa menghadirkan perbedaan, sehingga menimbulkan rasa saling mendukung dan membutuhkan. Dari sini, terbentuklah rasa peersatuan yang kuat di dalam tatanan sosial masyarakat. Sebagai gantinya adalah balas budi di saat para tentangga yang lain itu menggelar hajat juga.

Lebih dari itu, rewang juga merupakan suatu wadah sosialisasi masyarakat yang inspiratif dan komunikatif bagi setiap orang yang ikut melaksanakannya serta menjadi sarana pendidikan yang asyik untuk belajar memasak. Nilai tatanan sosial yang tinggi memberikan banyak fenomena penting untuk dijadikan referensi dalam belajar memahami bagaimana konsep kehidupan.
Semua itu masih bisa kita rasakan manakala belum adanya konsep jam kerja modern. Perawatan tanaman pangan bukannya enteng dan tidak memakan tenaga. Tapi ritme hidup orang bertani selalu memberikan celah waktu yang jauh sangat fleksibel. Saat sawah-sawah mulai ditinggalkan, dan orang-orang mulai beralih profesi ke dalam sektor-sektor industri di kota, pada saat itu pula keluwesan dalam pengelolaan waktu lambat laun mulai berkurang. Akibatnya, tradisi ini perlahan mulai mengikis dan menghilang. Ditambah dengan perkembangan zaman dengan tingkat mobilitas yang tinggi menyebabkan masyarakat kita kian tumbuh menjadi pribadi yang bersifat individualis dan egosentris.

Iqbal Aji Daryono dalam bukunya “dilarang mengutuk hujan” mengatakan, Masuknya jam kerja modern menyebabkan semakin sedikitnya orang punya waktu untuk menjalani tradisi itu. Sebagai gantinya, mereka hanya akan menghadiri pesta pada bagian inti-intinya saja, hal itu tentu saja akan memberikan celah. Dari sini, muncullah produk peradaban baru yang siap untuk menggantikan tradisi lama yang sudah mengakar itu. Mulai dari masuknya peruasahaan katering, penyewaan gedung besar, dan bahkan yang kebih anehnya lagi, lahirnya souvenir manten yang wajib hadir untuk disuguhkan kepada tamu-tamu undangan di setiap pernikahan.

Orang-orang yang terjebak dalam mekanisme jam kerja modern telah menunjukan gejala dari degredasi mental. Gaya hidup yang serba konsumenisme menyebabkan hal ini semakin ternormalisasikan. Tak hanya itu, hal ini pun melahirkan masalah baru yang lebih kompleks lagi, mulai dari pengikisan hubungan masyrakat satu sama lain, hilangnya budaya gotong royong, hingga adanya sangsi sosial yang berlaku di masyarakat. Orang-orang yang tidak ikut dalam kegiatan rewang biasanya tidak akan dibantu dalam kegiatan pribadinya. Bahkan yang lebih mengerikannya lagi, pada saat ia meninggal, jenazahnya takkan ada yang mau bantu mengurusi.

Maka perlu sekiranya kita membangun paradigma-paradigma baru untuk bisa menopang agar masalah ini tidak semakin melebar dan muntidimensial. Keterasingan antar sesama masyarakat tidak lagi menjadi sketsa-sketsa kehidupan. Jangan sampai kita menjadi generasi strawberry yang mana Rhenald Kasali menggambarkan seperti generasi yang menarik, namun rapuh karena tidak memilki mentalitas dan nilai-nilai yang kuat.

Di zaman post truth ini, perlu dibangun kesadaran dan kedewasaan masyarakat dalam menyikapi perkembangan dunia saat ini. Ilmu sosial humaniora hadir sebagai jawaban atas kerancuan dalam tatanan kehidupan kebermasyaraakatan ini. Perannya sangat dibutuhkan sebagai strategi dalam membentengi diri dari deras nya perkembangan zaman khususnya dalam revolusi industri.

Ada banyak hikmah yang dapat diambil dari tradisi rewang. Salah satunya adalah budaya tolong menolong sehingga dapat menumbuhkan kepedulian dalam kehidupan sosial. Perintah tolong menolong juga telah dijelaskan dalam ayat Al-Quran dan beberapa matan hadist. Selain itu, dalam beberapa matan hadis tersebut juga disebutkan hikmah yang dapat dipetik dari kegiatan tolong menolong. Berikut beberapa landasan dalam tolong menolong:

Al Maidah ayat 2:

وتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya : “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.”

Beberapa Hadis yang menjelaskan tentang tolong menolong:

وَ اللهُ فىِ عَوْنِ اْلعَبْدِ مَا كَانَ اْلعَبْدُ فىِ عَوْنِ أَخِيْه

Artinya : “Allah senantiasa menolong seorang hamba selama hamba itu menolong saudaranya.” (HR. Muslim)

الْمُؤْمِنُ لِلْمُؤْمِنِ كَالْبُنْيَانِ يَشُدُّ بَعْضُهُ بَعْضًا

Artinya : “Seorang Mukmin dengan Mukmin lainnya seperti satu bangunan,sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)

مَثَلُ اْلمُؤْمِنِيْنَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ مَثَلُ اْلجَسَدِ اِذَااشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ اْلجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَاْلحُمَّى

Artinya : “Orang-orang mukmin dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR. Muslim).

Dari beberapa dalil diatas alangkah baiknya kita menerapkan sikap tolong menolong dalam kehidupan sehari hari. Salah satu caranya yaitu dengan mempertahankan tradisi rewang, sehingga kebaikan dunia dan akhirat akan dicapai.

Penulis : Setiawan Al-Fadly Putra Imam

  • (Pelajar NU Situbondo & Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Muhammad Robet Asraria Soma
Santri Tulen