Nusantara (Indonesia) adalah belahan dunia ke tiga dengan segala budaya, suku, ras, bahasa, ideologi politik bahkan pun teologis. Ragam perbedaan tersebut telah menjadi keniscayaan. Namun dalam kehidupan di nusantara, kesemuanya mampu beriringan dalam sosio-kultural, interaksi sosial. Bahkan sampai sejauh ini tidak ada persoalan serius yang berpotensi merobek bendera merah dan putih; mencabut bulu-bulu burung garuda; dan seterusnya.
Istilah pluralisme dapat pula dibahasakan sebagai kemajemukan. Mari sejenak menunduk, khidmat, selami arti/makna juga terjemah dari ayat berikut dalam al qur’an:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ
Artinya: “Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. . .” (QS. Al-hujurat: 13)
Tuhan hendak mengajarkan hikmah dari ayat tersebut bahwa pluralitas atau adanya perbedaan bertujuan agar saling mengenal satu dengan yang lain. Bangunan komunikasi yang didasarkan atas nilai-nilai dasar rasa kemanusiaan, menyadari eksistensi perbedaan antar golongan tanpa harus mempermasalahkan perbedaan. Maka kemudian, mengapa Tuhan tidak menciptakan satu umat yang utuh atas menyembah diri-Nya saja?, marilah kembali menunduk, khidmat, selami/makna juga terjemah dari ayat berikut:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَّمِنْهَاجًا ۗوَلَوْ شَاۤءَ اللّٰهُ لَجَعَلَكُمْ اُمَّةً وَّاحِدَةً وَّلٰكِنْ لِّيَبْلُوَكُمْ فِيْ مَآ اٰتٰىكُمْ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِۗ
Artinya: “. . .Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. . .” (QS. Al-maidah:48)
Mudah bagi Tuhan bila hendak menjadikan umat ini dengan hanya satu golongan saja tanpa sedikit pun perbedaan. Lalu mengapa perbedaan ini diniscaya oleh-Nya?, Tuhan hanya ingin melihat sejauh mana manusia mau mensyukuri segala nikmat-Nya antara golongan yang satu dengan golongan yang lain dengan tingkat heterogenitas yang tinggi. Sebab dari sana pula (banyaknya golongan-golongan) dapat terlihat siapakah yang memiliki intensitas dalam kehendaknya untuk berlomba-lomba dalam berbuat kebaikan di muka bumi.
Terminologi yang penulis kehendaki pada istilah “Pluralisme” dalam uraian ini adalah bahwa paham pluralisme agama adalah paham yang memiliki arti bahwa perbedaan-perbedaan agama merupakan suatu keniscayaan dan tidak perlu saling membusungkan dada untuk menyalahkan satu dengan yang lain. Maka puncak kesempurnaan dari pemahaman tersebut akan berpotensi menjadikan seseorang menerima hidup berdampingan dengan siapapun secara damai tanpa perlu lagi mempersoalkan latar belakang agama, suku, ras yang berbeda. Sebab konotasi utama dan yang sebenarnya dari paham (pluralisme agama) adalah, kerukunan. Menunduklah kembali untuk merenungi arti/makna juga terjemah dari ayat ini:
وَلَا تَسُبُّوا۟ ٱلَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ ٱللَّهِ فَيَسُبُّوا۟ ٱللَّهَ عَدْوًۢا بِغَيْرِ عِلْمٍ ۗ كَذَٰلِكَ زَيَّنَّا لِكُلِّ أُمَّةٍ عَمَلَهُمْ ثُمَّ إِلَىٰ رَبِّهِم مَّرْجِعُهُمْ فَيُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُوا۟ يَعْمَلُون
Artinya: “Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan” (QS. Al-An’am:108)
Secara terang Tuhan memperingatkan dari ayat tersebut untuk tidak berbuat sesuatu, perbuatan-perbuatan yang berpotensi merugikan satu sama lain, merusak, bahkan memecah-belah. Hal itu lebih disebabkan karena sikap menghargai kita atas eksistensi keyakinan dari masing-masing penganut agama. Bahkan tidak perlu kembali menggaung-gaungkan agama ini yang paling benar, agama itu yang paling benar bila hal tersebut berpotensi memantik ketidakterimaan oleh penganut agama yang lain, terlebih dalam konteks ke-indonesia-an. Cukuplah keyakinan kuat pada diri tertancap dalam dan kuat pada relung hati dengan kemudian dibarengi tindak perilaku positif yang bermanfaat antar sesama. Sebab adalah hak personal seseorang untuk memeluk dan meyakini agama apapun berdasarkan suara hatinya. Bahkan Tuhan pun tidak memaksa.
Alangkah nyamannya bila pemaknaan kembali idoelogi pluralisme agama menjadi tema untuk didialektikan dalam suasana yang tenteram penuh keindonesiaan, diargumenkan dengan narasi yang argumentatif, tanpa perlu terlebih dahulu menodongkan itu liberal, itu radikal. Meski bukan berarti bila semua telah dapat menduduk-pahamkan dengan proporsional, tidak akan ada konflik atas nama agama. Minimal menekan atau mengurangi terjadinya konflik yang lebih besar.
Bukankah islam adalah Rahmatan Li Al-Alamin?
Penulis : Shovy Al-Bukhory (Aktifis rebahan sembari Menulis dan Membaca, Santri Sukorejo Situbondo)
Leave a Reply