Berjutapena.or.id,- Kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Yang haqiqi adalah kelak di akhirat. Kendatipun sementara, dunia juga merupakan tempat untuk mempersiapkan kehidupan di akhirat agar selamat. Tentunya kita harus memperbanyak amal-amal baik di dunia dan akan kita petik kelak di akhirat.
Masalahnya adalah orang yang telah meninggal. Secara kasat mata, kita tahu bahwa orang yang telah meninggal tentu tidak akan bisa berbuat apa-apa lagi. Berbeda kalau kita memandang secara tak kasat mata, maka orang yang sudah meninggal seolah-olah akan tetap memperoleh pahala apabila dikirimi doa.
Saya rasa itulah mengapa di kalangan masyarakat muncul dua pandangan tentang orang yang telah meninggal. Pandangan pertama pasti melihat secara kasat mata (meninggal). Pandangan kedua melihat secara tak kasat mata (ghaib). Hadits yang menyebabkan timbulnya dua pandangan tersebut adalah sebagai berikut:
إِذَا مَاتَ اِبْنُ آدَمٍ اِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ : صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ, أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ. (رواه مسلم في الصحيح)
Artinya: “Apabila anak Adam meninggal, amal perbuatannya akan terputus kecuali tiga perkara: sedekah yang terus mengalir, ilmu yang dimanfaatkan oleh orang, mempunyai anak saleh yang sesalu mendoakannya” (HR. Muslim).
Untuk memahami hadits di atas setidaknya ada dua poin yang harus dipahami. Pertama, secara umum, terputusnya amal perbuatan sebab kematian merupakan perkara yang jelas. Artinya, ketika orang telah meninggal, secara kasat mata ia tidak bisa melakukan apapun dan tidak dikenai taklif (pembebanan hukum) oleh Allah Swt. Namun, ada sebagian perbuatan yang dampaknya terus ia rasakan hingga meninggal. Artinya, pahala sebab ia melakukan perbuatan itu akan terus mengalir kendatipun telah meninggal. Semisal, Feri mewaqafkan tanah agar dibangun masjid. Maka, perbuatan Feri mewaqafkan tanah tersebut menyebabkan adanya pahala yang terus mengalir hingga Feri meninggal. Dengan catatan masih ada atau bahkan banyak orang-orang beribadah di masjid tersebut.
Poin kedua yang harus dipahami adalah hadits di atas berbicara tentang إِنْقِطَاعُ عَمَلِهِ (terputusnya amal perbuatan) bukan berbicara tentang إِنْقَطَعَ إِنْتِفَاعُهُ (terputusnya manfaat amal perbuatan). Memang manfaat suatu perbuatan hanya dimiliki oleh dia yang melakukan perbuatan itu. Tetapi, jika yang melakukan perbuatan tersebut memberikan manfaatnya maka sangat mungkin dan logis.
Contoh mudahnya adalah Feri meninggal dan masih mempunyai tanggungan utang kepada Gavi. Kemudian, Feri akan bebas dari tanggungan tersebut apabila Nilma membayarkan utang atas nama Feri kepada Gavi. Dalam contoh ini yang diberikan Nilma kepada Feri tentu manfaatnya, bukan berupa uang supaya Feri bisa bayar kepada Gavi.
Demikian penjelasan tentang memahami hadits orang yang telah meninggal. Keterangan di atas dapat dirujuk dalam kitab Tahqiq al-Amal fima yanfa’u al-Mayyit min al-A’mal, karya Abuya Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lamu.
Penulis : Ahmad Firman Ardiyansyah (Santri Ma’had Aly Situbondo/Anggota PAC IPNU Situbondo)
Leave a Reply