Mengenal lebih dalam sang mediator Nahdlatul Ulama’

KH As’ad Syamsul Arifin adalah sosok mediator Syaikhona Kholil Bangkalan dan Hadratus Syekh KH Hasyim As’ary. Beliau lahir pada tahun 1897 di perkampungan dekat Masjid al Haram Mekkah tapatnya di Syi’ib Ali. Kiai As’ad adalah putra pertama dari pasangan Raden Ibrahim dan Siti Maimunah yang berasal dari Pamekasan,Jawa Timur. Beliau dilahirkan bertepatan pada saat kedua orang tuanya menunaikan ibadah haji dan bermukim disana untuk memperdalam ilmu keislaman. KHR. As’ad Syamsul Arifin masih memiliki darah bangsawan dari kedua orang tuanya. Ayahnya, Raden Ibrahim (yang kemudian lebih dikenal dengan nama KH. Syamsul Arifin) adalah keturunan Sunan Ampel dari jalur sang ayah. Sedangkan dari pihak ibunya masih memiliki garis keturunan bangsawan dari Pangeran Ketandur, cucu Sunan Kudus.

Sejak kecil beliau telah mendapat didikan langsung dari ayahnya. Pada umur 6 tahun As’ad kecil telah terpisah dari kedua orang tuanya. Dia ditaruh di Pesantren Sumber Kuning Pamekasan. Menginjak usia 11 tahun As’ad diajak oleh ayahnya menyebarang ke tanah Jawa. Saat beranjak usia 13 tahun As’ad remaja telah dikirim oleh ayahnya ke Pondok Pesantren Banyuanyar dibawah asuhan Kiai Abdul Majid dan Kiai Abdul Hamid.

Sekitar umur 16 tahun As’ad melanjutkan mondok nya ke Makkah, guna memperdalam ilmu agamanya dan berhasil diterima sebagai murid madrasah Shalatiyah Mekkah. Di samping itu dia juga menjadi murid dari beberapa guru terkenal di Makkah diantaranya Syaikh Hasan al-Massad yang fokus kajiannya berupa ilmu nahwu dan bahasa Arab, Sayyid Muhammad Amin al Kutby dalam ilmu tauhid dan fiqh, sedangkan dalam ilmu kesusastraan Arab dia belajar kepada Sayyid Hasan al-Yamani, dan menimba ilmu tasawuf kepada Sayyid Abbas al-Maliki.

Pada tahun 1924, setelah beberapa tahun belajar di Mekah, KHR. As’ad Syamsul Arifin  kemudian pulang ke Indonesia. Setelah sampai di kampungnya, beliau tidak langsung mengajar di pesantren ayahnya, KHR. As’ad Syamsul Arifin  memutuskan untuk memperdalam ilmunya dan melanjutkan belajarnya. Ia pergi ke berbagai pesantren dan singgah dari pesantren satu ke pesantren lain, baik untuk belajar maupun hanya untuk ngalaf barakah (mengharap berkah) dari para kiai.

KHR. As’ad Syamsul Arifin mengaji tabarukkan di beberapa pesantren di tanah Jawa dan Madura, antara lain: Pesantren Sidogiri Pasuruan (asuhan KH Nawawi), pesantren Siwalan Panji Buduran Sidoarjo (asuhan KH Khozin), Pesantren an-Nuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura, Pesantren Kademangan Bangkalan (KH Muhammad Cholil) dan Pesantren Tebu Ireng Jombang (KH Hasyim Asy’ari).

Pada saat mondok di pesantren kademangan Bangkalan yang di asuh oleh Syaikhona Muhammad Kholil Bangkalan. Beliau diutus oleh Syaikhona Kholil Bangkalan untuk menyampaikan hasil Istikharoh gurunya.

Ada dua petunjuk yang harus disampaikan oleh Kiai As’ad sebagai penghubung atau wasilah untuk menyampaikan amanah KH Cholil kepada KH Hasyim Asy’ari. Hal itu merupakan bentuk komitmen dan takzim santri kepada gurunya apalagi terkait persoalan-persoalan penting dan strategis. Ditambah tidak mudahnya bolak-balik dari Bangkalan ke Tebuireng di tengah situasi penjajahan saat itu.

Petunjuk pertama, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surah Thaha ayat 17-23 yang menceritakan mukjizat Nabi Musa as.

Petunjuk kedua, kali ini akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus KH Cholil Bangkalan untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar 3x). Berarti menyebut nama Tuhan yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu KH Hasyim Asy’ari.

Dari perannya sebagai wasilah pendirian NU tersebut, Raden KH As’ad Syamsul Arifin bisa dikatakan sebagai ‘santri khos’ KH Cholil Bangkalan dan KH Hasyim Asy’ari.

 

Editor : Rekanita Lilik