Merajut Kembali Hubungan Guru dan Murid

Foto Hanya Ilustrasi
Foto Hanya Ilustrasi

Berjutapena.or.id,- Hingga saat ini, ingatan saya masih merekam kuat tentang sejarah pendidikan di Indonesia. Pasalnya, tepat pada tahun 1947 dibentuklah panitia penyelidik pengajaran negara Republik Indonesia. Panitia ini bertugas meninjau masalah pendidikan, pengajaran siswa-siswi, mulai tingkat kanak-kanak hingga perguruan tinggi.

Betapa pun berbeda tingkatan, pendidikan pasti melibatkan hubungan antara guru dan murid. Untuk perguruan tinggi dan pondok pesantren menyebut guru dengan sebutan dosen dan ustaz, ustazah. Saya beranggapan, hubungan guru dan murid saling memberikan pengaruh. Pengaruh paling tampak adalah guru kepada muridnya. Hal ini sebagaimana hasil penelitian Sigit Setyawan dalam bukunya Guruku Panutanku.

Dalam penelitian itu, Sigit melakukan survei. Dari survei awal, sebanyak 46 siswa dari 83 siswa yang terpengaruh oleh gurunya. Sigit menemukan semacam kata rahasia bahwa guru memiliki pengaruh besar dalam pembentukan karakter manusia. Saya rasa itulah mengapa Albert Bandura menyebut guru sebagai modelling: sosok yang terus digugu dan ditiru.

Kendati demikian, masih banyak kasus yang berserakan tentang oknum guru ataupun oknum murid. Yang terbaru, bulan Mei kemarin di daerah Sumatera Selatan ada oknum orang tua murid yang tidak terima atas kelakuan guru sekolah. Dianggapnya, kelakuan tersebut telah melampaui batas kewajaran. Hingga akhirnya, Sularno sebagai guru yang dimaksud dipenjara selama 1 tahun dan membayar denda 60 juta.

Tak hanya itu, tiga tahun silam, di daerah Riau digegerkan kasus oknum guru yang memanggil siswinya dengan sebutan ‘nakal’. Dari dua kasus di atas ini, sama-sama memberi pengaruh buruk kepada pendidikan. Tentu, Sularno tidak akan mengajar lagi selama setahun untuk menjalani hukuman. Sedangkan, siswi yang dipanggil ‘nakal’ berpotensi besar untuk memutus sekolahnya dengan alasan malu.

Bahkan saya sendiri khawatir, gara-gara banyaknya kasus demikian, akan dijadikan alasan oleh generasi muda berikutnya untuk tidak mengenyam pendidikan. Tak bisa dibayangkan, apa jadinya negeri ini jika generasi mudanya benci pendidikan, mereka lebih memilih bekerja daripada belajar. Maka dari itu, ini menjadi problem serius yang harus kita perhatikan, khususnya pemerintah agar dikawal dan dicarikan solusinya, jangan sekali-kali gulung tikar.

Dampak Liberalisme

Ahmad Muhammad Nashor dalam karyanya Mabadi’ Al-Iqtishadi Al-Islami menerangkan bahwa, doktrin liberalisme tidak hanya berdampak pada sosial saja, melainkan juga berdampak kepada perekonomian. Dalam ekonomi, doktrin tersebut ada pada dua pandangan. Pertama, kekayaan dan hak-hak individu adalah milik kita semua dengan dalih ‘dalam rangka kemaslahatan umum’. Kedua, mewujudkan ekonomi sosial dengan mengorbankan kepemilikan individu.

Konsep dasar dari liberalisme adalah ‘kebebasan’. Kelompok liberalisme secara abstrak memang tidak menentang sama sekali terhadap tuntutan-tuntutan agama dan moral, tetapi secara substansial mereka berusaha menjauhkan manusia dari tuntutan agama dan moral. Kelompok inilah yang kemudian menggaung-gaungkan adanya HAM (Hak Asasi Manusia).

Di Indonesia sendiri, HAM didirikan pada masa Orde Baru, tepatnya pada tahun 1993. Selain itu, HAM juga bersifat independen dari pemerintah. Saya rasa inilah akar masalah dari adanya kasus guru dan murid. Mereka tidak paham secara total tentang hak dan kewajiban, mereka mempertentangkan antara hak dan kewajiban. Seharusnya, hak dan kewajiban tidak boleh dipertentangkan, melainkan harus berjalan beriringan.

Merajut Kembali Hubungan Guru Dan Murid

Baruch de Spinoza pernah mengingatkan, “Humanus actiones non ridere, non lugere, neque detestari, sed intellegere,” perilaku manusia bukan untuk dicemooh, dikasihani atau dijauhi secara jijik, melainkan harus dipahami dengan bijak. Jika guru ingin bertindak, maka harus memahami sikap muridnya terlebih dahulu dengan bijak. Begitu juga seorang murid, hati-hati dalam bertindak. Yang harus dipahami oleh murid adalah kira-kira kalau saya bertindak demikian, guru saya berkenan atau tidak. Antara guru dan murid harus sama-sama bertindak secara bijak. Dengan kata lain, baik guru maupun murid memiliki posisi atau tugas yang berbeda.

Tugas seorang guru adalah sebagaimana yang disampaikan Ki Hajar Dewantara: Ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani; di depan memberi semangat, di tengah membangun kreativitas, di belakang memberi dukungan. Guru tidak berhak mengklaim atau memetakan murid yang non-etis atau sebaliknya. Fokuslah terhadap apa yang dipesankan Bapak Pendidikan.

Sementara tugas seorang murid yakni menghormati dan mematuhi gurunya. Batasannya, jika tidak berkaitan dengan keilmuan, maka secara totalitas seorang murid harus menghormati dan mematuhinya dengan cara etika yang baik. Berbeda jika menyangkut dengan keilmuan, maka murid memiliki legalitas untuk memperbaiki gurunya apabila ada yang keliru dalam menyampaikan. Namun, tetap dengan cara yang beretika.

Jangan sampai antara hak dan kewajiban dibentrokkan, bahkan dijadikan dalih untuk bertindak semena-mena. Hak dan kewajiban harus sama-sama berjalan, agar hubungan guru dan murid sama-sama diuntungkan dan tidak ada yang dirugikan. Kalau boleh diibaratkan, kain hasil rajutan jika lepas rajutannya, maka tidak akan indah bahkan tidak akan bisa dipakai lagi. Berbeda dengan hasil rajutan yang masih kuat, selama apapun orang yang memakainya pasti akan tetap bagus dan layak dipakai apabila rajutan itu tetap utuh. Sama dengan pendidikan, jika hubungan guru dan murid baik, maka jangan heran pada tahun 2045 mendatang negara-negara lain akan berkiblat kepada Indonesia perihal pendidikan.

 

Editor : Rekan Basori