Ketika Maulid sebagai Jihad

Gambar Hanya Ilustrasi (BP/Istimewa)
Gambar Hanya Ilustrasi (BP/Istimewa)

berjutapena.or.id,- Dalam kitab Haula al-Ihtifal bi Dzikro al-Maulid al-Nabawiy al-Syarif, Abuya Sayyid al-Maliki mengartikan maulid sebagai ungkapan atau ekspresi kegembiraan dan kebahagiaan atas kelahiran Nabi Muhammad saw. Dari pengertian ini, tidak bisa dipungkiri bahwa perayaan maulid Nabi berkaitan erat dengan budaya masing-masing daerah. Budaya Arab dengan budaya Jawa semisal, pasti berbeda. Saya menemukan satu karakter dari budaya Arab yaitu mereka tidak suka hal yang bertele-tele. Ini bisa dilihat dari bahasa mereka ketika pergantian tahun biasa mengucapkan Kullu Am Antum bi Khair.

Namun, berbeda dengan orang Jawa, ketika pergantian tahun, orang-orang Jawa tidak hanya dengan ucapan saja, melainkan juga melakukan tirakatan (mirip samadhi dalam Budha), melekan (berjaga sampai larut malam). Artinya, maulid Nabi yang sering diklaim bid’ah, saya rasa salah besar. Sebab, budaya Arab dengan budaya Nusantara berbeda. Tulisan ini tidak akan membahas perbedaan pendapat tentang status maulid Nabi, tetapi akan membahas siapakah pertama kali orang yang merayakan maulid Nabi? Berikut penjelasannya:

Mengenai siapa pertama kali melaksanakan maulid Nabi, saya menemukan sekurang-kurangnya tiga pendapat. Perbedaan pendapat ini berangkat dari perbedaan tentang definisi maulid Nabi.

Pertama, Khaizuran (170 H/786 M). Ia merupakan ibu dari Amirul Mukminin Musa al-Hadi dan al-Rasyid. Beliau juga sosok berpengaruh selama masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah: Khalifah al-Mahdi bin Mansur al-Abbas, Khalifah al-Hadi dan Khalifah al-Rasyid. Dengan pengaruhnya itu, Khaizuran mampu menggerakkan orang-orang muslim di Arab. Pasalnya, pada saat di Makkah Ia menyuruh penduduk Makkah agar merayakan maulid di rumah masing-masing. Tetapi, setelah pindah ke Madinah beliau menyuruh masyarakat untuk melaksanakan maulid di masjid Nabawi. Apa yang dilakukan Khaizuran tidak lain supaya teladan, ajaran, dan kepemimpinan Nabi Muhammad saw selalu menginspirasi orang-orang Arab khususnya. Penjelasan ini ada dalam buku Sejarah Maulid Nabi karya Ahmad Tsauri. Beliau juga mengutip dalam kitab Wafa’ul Wafa bi Akhbar Darul Mustafa karya Nuruddin Ali.

Kedua, Mudhaffar Abu Said al-Qukburi (630 H). Beliau seorang gubernur pemerintahan Irak pada masa Sultan Salahuddin al-Ayyubi (1138 M-1193 M). Saat itu, Ia merayakan maulid Nabi selama 7 hari 7 malam. Acara ini menghabiskan lebih kurang 300.000 dinar uang emas. Rinciannya yakni, ada 5.000 ekor kambing, 10.000 ekor ayam, 100.000 keju dan 30.000 piring makan. Motif yang mendorong beliau melakukan maulid ini adalah untuk menghidupkan semangat heroisme orang-orang muslim. yang Kebetulan saat itu pula sedang maraknya kekejaman Temujin, yang dikenal dengan nama Jengiz Khan dari Mongol. Penjelasan ini ada dalam kitab Husnu al-Maqsid fi Amali al-Maulid, karya Abd. Al-Rahman Al-Suyuti.

Ketiga, pendapat terakhir mengenai siapa pertama kali mengadakan maulid Nabi? Itu adalah Sultan Salahuddin al-Ayyubi sendiri. Tujuan beliau melakukan maulid saat itu, yakni sebagai tandingan atas kaum kristiani dalam melakukan perayaan natal. Karena kebetulan waktu itu kaum muslimin dan kaum kristiani sama-sama memberi pengaruh. Agar umat muslim tidak kalah dalam memberi pengaruh maka, Sultan Salahuddin mengadakan maulid Nabi. Penjelasan ini dapat dirujuk dalam kitab Husnu al-Maqsid fi Amali al-Maulid, karya Abd. Al-Rahman Al-Suyuti.

Orang-orang sebelum kita dalam mengadakan maulid Nabi memiliki tujuan masing-masing. Tujuan itu memiliki kesamaan yang konsisten yaitu, dalam rangka menyebarkan ajaran Islam. Untuk saat ini, motif kita seharusnya dalam mengadakan maulid yaitu—selain untuk baginda Nabi—menguatkan persaudaraan sesama umat muslim. Itulah yang saya maksud ”Ketika Maulid sebagai Jihad”. Memperluas ajaran Islam hingga ke daerah muslim minoritas dan mempererat ajaran Islam di daerah yang mayoritas muslim.

Demikianlah penjelasan tentang siapakah yang pertama kali melaksanakan maulid Nabi. Wallahu A’lam

 

Editor : Rekanita Lilik