Antara Cinta dan Nafsu

Ilustrasi : Pexels.com
Ilustrasi : Pexels.com

 

berjutapena.or.id,- Pacaran berarti menjalin hubungan antara laki-laki dan lawan jenisnya yang belum terikat pernikahan. Lumrahnya, orang yang pacaran berpotensi melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama, seperti pegangan tangan, boncengan, tidak menutup kemungkinan juga melakukan ciuman. Memandang potensi inilah Islam melarang ‘pacaran’. Tetapi kemudian muncul istilah ‘pacaran Islami’.

Istilah ‘pacaran Islami’ pernah menjadi topik diskusi para tokoh agamis dengan penentangnya. Pihak penentang berasumsi bahwa ketika disinggung kata Islami hal-hal yang bersifat substansi dalam berpacaran akan mendapatkan legalitas dari agama Islam untuk dilakukan. Lalu, para tokoh agamis memberikan pertanyaan yang berbentuk pernyataan, bila hukum berpacaran adalah tidak diperbolehkan, mengapa masih ada embel-embel Islami?

Dua pandangan di atas berada pada titik temu, yaitu mengenai hal-hal yang sifatnya substansi dalam pacaran. Jika kita melihat realita, dapat dipastikan sekitar 85% orang yang berpacaran akan melakukan; boncengan, pegangan tangan bahkan ciuman. Hal inilah yang membuat hubungan pacaran sangat potensial untuk terjadi di dalamnya hal-hal yang tidak diharapkan. Yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini adalah—terlepas dari perbedaan istilah tadi—timbulnya kekerasan.

Komnas Hak Asasi Manusia (HAM) perempuan menyebutkan, pada tahun 2019 Kekerasan dalam Pacaran (KDP) meningkat 14%. Kemudian pada tahun 2020 dan 2021 KDP mengalami penurunan yang tidak terlalu besar, dengan angka 1.309 (2020) dan 1.200 (2021). Inilah sebabnya KDP membutuhkan perhatian khusus.

Munculnya KDP dilatarbelakangi oleh faktor internal dan eksternal. Pertama, faktor internalnya adalah telah menjadi konsekuensi logis setiap manusia khususnya masa anak-anak dan remaja, karena pada masa itulah pasti merasakan dunia eksperimentasi. Sebagaimana dalam Psychology of Child (1972), Jean Piaget menyebutkan bahwa, semenjak fase anak-anak, remaja hingga dewasa merupakan “observer-eksperimental” yang baik. Rasa ingin tahu selalu melampaui kontrol emosinya.

Faktor kedua yaitu kesan-kesan atau kondisi di sekitarnya. Hal ini berpengaruh pada dirinya. Sudah barang tentu bagi pelaku KDP telah menerima implikasi kesan-kesan kejahatan atau kondisi buruk di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan teori Johann Friedrich Herbart (1839) bahwa kesan-kesan baru yang diterima seseorang akan menghasilkan sebuah kesadaran baru juga pada dirinya. Semisal, seorang anak yang keluarganya damai, ramah, lalu berubah keras, maka akan berdampak buruk pada mentalnya. Namun berbeda ketika seseorang melakukan ibadah haji, ia akan menerima kesan-kesan baik dan membentuk kesadaran pada dirinya yang lebih baik.

Islam menawarkan agar menikah saja. Tetapi, dalam prosedur negara kita untuk melakukan pernikahan ada batas minimalnya. Adanya prosedur ini tentu tidak sepihak saja, melainkan negara mengeluarkan aturan tersebut kira-kira ada dua alasan. Pertama, perihal usia. Biasanya, ukuran usia orang yang menikah dini belum matang, sehingga nanti akan berdampak terhadap rumah tangganya. Kedua, tentang ekonomi. Di usia yang masih dini dapat dipastikan bahwa seorang suami tidak akan mampu menafkahi istrinya. Itulah mengapa kemudian negara mengeluarkan batas minimal menikah.

Selain itu, bagaimana kalau pihak negara memperketat aturan atau bahkan menghapus ‘pacaran’? Saya kira itu hal mustahil. Karena kendatipun negara menghapus ‘pacaran’ dengan cara memberatkan sanksi apabila di kemudian hari ketahuan berpacaran, masih ada media sosial yang dengannya bisa terus berkomunikasi. Atau pertanyaan besarnya—jika memang akan dihapus—sanggupkah negara untuk memfasilitasi semua itu? Saya pikir tidak, karena pacaran sudah menjadi hal yang niscaya. Bahkan, akan dianggap naif apabila dijumpai seseorang tidak pernah melakukan pacaran.

Saya rasa, yang sangat efektif untuk mencegah KDP adalah tergantung orang tua masing-masing. Terkadang ada seorang anak melakukan pacaran atau hal yang aneh dengan alasan kurang perhatian dari orang tua. Artinya, setiap orang tua harus mampu mengubah pola pikir seorang anak supaya tidak berlebihan dalam berpacaran, dengan kata lain tidak melanggar apa-apa yang sudah diwanti-wanti oleh agama. Setiap orang tua memiliki caranya masing-masing untuk mengubah pola pikir anaknya. Ada yang dengan didikan secara tegas atau dengan cara santai, tetapi masih dalam pantauan orang tua. Sudah barang tentu ketika pola pikir seorang anak berhasil diubah, maka KDP tidak akan terjadi lagi.

 

Editor : Rekanita Lilik