Harlah NU ke- 101 ; Pemahaman Moderat Perspektif K.H. Afifuddin Muhajir

Ilustrasi : Berjuta Pena
Ilustrasi : Berjuta Pena

berjutapena.or.id,- Baru-baru ini, ada berita dari situs resmi NU online Jawa Timur (JATIM) bahwa salah satu Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya yang melakoni KKN di Papua, mengalami secara langsung dampak dari moderasi beragama. Ini merupakan bukti bahwa perihal moderasi masih tetap pasif di Indonesia. Nah, kebetulan tulisan ini akan membahas tentang bagaimana pandangan K.H. Afifuddin Muhajir tentang moderat dan sebagai kado ulang tahun NU yang ke-101.

K.H. Afifuddin Muhajir merupakan wakil pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah (PP SS) Sukorejo, Situbondo. Beliau sangat membidangi studi Fikih dan Usul Fikih, dari sinilah kemudian beliau mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang tahun 2020 silam. Penganugerahan ini dirasa sangat cocok dan pantas untuk sosok yang akrab disapa Kiai Afif. Saat ini, beliau mengabdi sebagai wakil Rais Aam di organisasi PBNU.

Pandangan Kiai Afif Tentang Moderat

Istilah moderat sebenarnya lahir dari ciri-ciri Islam sendiri. Yaitu tawassuth (jalan tengah), ta’adul (berkeadilan), dan tawazun (seimbang). Dari tiga prinsip ini jika disatukan—kendatipun dari tiga kata itu memiliki arti yang sangat berdekatan—maka akan melahirkan kata yang disebut wasathiyyah (moderat). Mengenai moderat ini Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah, ayat 143:

وَكَذٰلِكَ جَعَلْنٰكُمْ اُمَّةً وَّسَطًا لِّتَكُوْنُوْا شُهَدَاۤءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُوْنَ الرَّسُوْلُ عَلَيْكُمْ شَهِيْدًا

“Demikian (pula) Kami menjadikan kamu (umat Islam) umat penengah (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi atas seluruh manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas kamu….” (QS. Al-Baqarah [2]: 143).

Perihal wasathiyyah, Kiai Afif mengartikan jalan tengah atau keseimbangan antara dua hal yang berbeda atau bertentangan. Seperti, keseimbangan antara optimis dan pesimis, antara dunia dan akhirat, antara pokok (usul) dan cabang (furu’), antara konsep dan realitas, dan seterusnya.

Misalnya antara A dan B. Jika dipraktikkan, jalan tengah antara dua hal yang berbeda, maka memiliki dua pengertian. Pertama, pengertian bukan A dan juga bukan B. Kedua, pengertian bukan hanya A dan bukan hanya B.

Pengertian pertama beliau mencontohkan dalam konsep Islam tentang nafkah yang berada pada posisi jalan tengah antara kikir dan boros. Dalam hal ini, konsep nafkah tersebut bukan kikir ataupun boros, melainkan ada diantara keduanya. Sedangkan pada pengertian kedua, beliau mencontohkan bahwa terdapat ungkapan ‘Islam itu antara dunia dan akhirat’. Maksudnya, Islam bukan hanya mengatur urusan dunia dan juga bukan hanya mengatur persoalan akhirat, melainkan Islam mengatur keduanya secara integratif.

Perihal moderat ini, sering kali disandingkan dengan agama. Jadinya adalah moderasi beragama. Dalam persoalan moderasi agama ini melibatkan dimensi syariat (hukum Islam). Sedangkan dalam dimensi ini terdapat dua sisi. Pertama, adalah sisi ilahiyyah (ketuhanan). Pada dimensi ini hanya Syari’ (Tuhan) yang memiliki otoritas penuh atas mensyariatkan hukum. Kedua, adalah dimensi Insaniyyah (kemanusiaan). Pada dimensi ini, dijalinlah hubungan kemanusiaan demi mewujudkan kesejahteraan umat manusia. Memang secara agama kita berbeda, tetapi sesama makhluk ciptaan Allah Swt kita sama. Kurang lebih seperti itulah yang dirasakan orang-orang dalam moderasi beragama.

Kesimpulannya adalah tergantung pada kita hendak mengambil pengertian moderat yang pertama atau pengertian yang kedua. Yang terpenting yakni ‘moderat’ memiliki dimensinya sendiri. Analogi sederhanya yaitu ‘moderat’ bukanlah A dan bukanlah B. Tetapi, ada diantara keduanya. Sekian, penjelasan tentang pemahaman Kiai Afif perihal moderat. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.

Editor : Rekanita Lilik