Berjutapena.or.id,- Tulisan ini akan membahas transaksinya orang yang buta. Bagaimana pendapat para ulama mengenai transaksinya orang yang buta. Apakah sah transaksinya atau malah sebaliknya?
Prinsip dasar dalam transaksi jual beli adalah adanya kerelaan, baik dari pihak penjual atau dari pihak pembeli. Selain itu, antara penjual dan pembeli tidak ada yang dirugikan. Artinya, mereka berdua harus sama dalam keuntungannya.
Maka, perihal orang yang buta secara sepintas kita akan menganggap, pasti orang yang buta itu akan dirugikan atau ditipu oleh pihak penjual. Oleh karena itu, saya akan memaparkan pendapat ulama tentang transaksi jual beli orang yang buta. Berikut penjelasannya.
Dalam mazhab Syafi’iyyah, transaksinya orang yang buta dihukumi tidak sah dan solusinya diwakilkan kepada orang lain. Karena, prinsip mazhab syafi’i adalah tidak boleh melakukan transaksi jual beli yang antara penjual dan pembeli sama-sama tidak melihat atau salah satunya tidak melihat barang yang diperjual belikan. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab I’anah at-Tholobin, juz III, halaman 14:
(قوله: فلا يصح بيع معين لم يره العاقدان) أي لا يصح بيع معين غائب عن رؤية المتعاقدين أو أحدهما – ولو كان حاضرا في المجلس وعلم من ذلك إمتناء بيع الأعمى وشرائه للمعين كسائر تصرفاته فيوكل في ذلك حتي في القبض والإقباض.
“(Tak sah jual beli barang tertentu yang pihak penjual dan pembeli tak melihat) artinya, tidak sah jual beli kepada barang tertentu yang kedua belah pihak (penjual dan pembeli) sama-sama tak melihat kepada barangnya, uangnya atau salah satu kedua belah pihak tidak melihatnya – ini diasumsikan ketika akadnya hadir (tidak berupa pemesanan). Dari itu maka transaksi jual belinya orang yang buta tidak sah, sebagaimana seluruh tindakannya. Maka, diwakilkan kepada orang lain, hingga urusan menerima barangnya.”
Dalam mazhab Hanafiyyah, jual beli atau transaksinya orang yang buta diperbolehkan. Artinya, ia sah melakukan transaksi tersebut. Karena, memang Hanafi memiliki prinsip bahwa barangnya tidak harus dilihat pada saat ketika melangsungkan akad. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Badai’ al-Shoni’ fi Tartib al-Syaroi’, juz 5, halaman 164:
وعلى هذا الخلاف شراء الأعمى وبيعه جائز عندنا.
“Dan atas perbedaan ini (dalam jual beli menurut Hanafi tidak harus dilihat ketika akad barangnya) menjualnya orang yang buta dan membelinya orang yang buta boleh (sah) menurut kami (mazhab Hanafi).”
Kemudian dalam mazhab Hanabali berpendapat bahwa jual belinya orang yang buta sah atau boleh. Untuk mengetahui barang yang akan ia beli, bisa menggunakan Indera yang lain (bukan hanya mata). Semisal, menyentuh, mencium, dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam kitab al-Fawaid al-Muntakhobat, halaman 664:
فيصح بيع أعمى وشراؤه ما عرفه بلمس أو شم أو بذوق بعد إتيانه بما يعتبر في ذلك, كما يصح توكيله في بيع وشراء مطلقا.
“Sah hukumnya jual belinya orang yang buta, sesuai yang ia tahu dengan menggunakan indera penciuman, menyentuh atau dengan rasa setelah ia pernah melakukan pembelian atau penjualan yang sama. Sebagaimana sah pula mewakilkannya orang yang buta itu dalam membeli barang atau menjual barang secara mutlak.”
Dan terakhir menurut mazhab Malikiyyah, jual beli yang dilakukan oleh orang buta sah hukumnya. Terlepas apakah ia mengalami kebutaan semenjak lahir atau bukan dari lahir. Alasannya adalah karena ada dharurat dalam bertransaksi. Sebagaimana dipaparkan dalam kitab Aqd al-Jawahir al-Tsaminah fi Mazhab Alim al-Madinah, halaman 627:
ويصح بيع الأعمى وشراؤه لضرورة التعامل, ويعتمد على الصفة سواء طرأ عليه العمى أو ولد أعمى.
“Dan sah jual belinya orang yang buta, karena ada dharurat dalam transaksi, dan ia (orang yang buta) melakukan transaksinya dalam keadaan buta. Baik kebutaannya sejak lahir atau tidak.”
Dengan perbedaan pendapat diantara ulama mazhab, ini merupakan rahmat yang sangat besar. Karena, kita bisa mengikuti mazhab lain sesuai kondisi kita. Bukan menjadikan perbedaan tersebut sebagai ajang untuk mengambil pendapat yang mudah-mudah saja. Yang menjadi poinnya adalah kitab oleh berpindah mazhab dengan catatan menyesuaikan kondisi kita, bukan mengikuti nafsu kita.
Berhubungan dengan itu, mazhab Syafi’iyyah berpendapat tidak sah karena memang mazhab ini terkenal ketat dalam perihal transaksi jual beli. Sedangkan mazhab yang lain tidak terlalu ketat mengenai transaksi jual beli. Itulah mengapa selain mazhab Syafi’iyyah berpendapat boleh.
Demikian penjelasan tentang pendapat ulama mengenai transaksinya orang yang buta. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.
Leave a Reply