berjutapena.or.id,- Barangkali Isra’ Mikraj adalah hadiah kepada baginda Nabi dari Allah Swt, sebab peristiwa ini terjadi setelah tahun kesedihan yang para ahli sejarah menyebutnya dengan istilah “Aam al-Huzni” yakni dua peristiwa yang begitu menyayat hati sang baginda.
Peristiwa pertama adalah wafatnya Abu Thalib, seorang paman yang sangat dicintai, paman yang selama bertahun-tahun memeliharanya. Sejak beliau berusia delapan tahun sampai diantar ke gerbang kebahagiaan ketika ia menikah dengan Khadijah dalam usia 25 tahun.
Peristiwa kedua adalah wafatnya Sayyidah Khadijah, istri yang sangat beliau cintai dan ia pun sangat mencintainya. Istri yang senantiasa mendampinginya selama bertahun-tahun dalam segala suka dan duka. Khadijah adalah wanita bangsawan Quraisy yang memiliki sifat keibuan yang luhur. Ia selalu berusaha membahagiakan Nabi dalam segala kehidupannya dan senantiasa mendukung kegiatan-kegiatan yang dilakukannya.
Mengenai Khadijah yang kedudukannya tidak bisa digeser siapapun di samping Nabi, beliau mengatakan: “Allah tidak menggantikan untukku seorang yang lebih baik dari Khadijah, ia seorang yang pertama kali beriman kepadaku, pada saat orang lain mendustakan aku. Ia yang senantiasa mencintaiku tatkala banyak orang membenciku. Ia korbankan harta kekayaannya dalam rangka membela agama”.
Baca Juga : Perkembangan Teknologi Dalam Sudut Pandang Islam
Sepeninggal keduanya, terus menerus beliau menghadapi permusuhan dan penghinaan dari kaumnya, sehingga beliau pernah dilempari dengan tanah yang kotor, sehingga mengenai seluruh kepalanya. Dengan bekas tanah masih menempel di kepalanya. Fatimah putrinya yang sangat beliau cintai, membersihkan tanah itu. Ia membersihkannya sambil menangis, mencucurkan air mata, tanda kesedihan yang sangat mendalam. Tak ada yang lebih sakit rasanya dalam kalbu seseorang ayah daripada mendengar isak tangis anaknya, lebih-lebih yang mencucurkan air mata itu adalah anak perempuan. Setetes air mata kesedihan yang menitik dari kelopak mata seorang putri adalah sepercik api yang membakar jantung.
Sejatinya, jauh sebelum isra’ mikraj di ceritakan dengan lisan maupun tulisan, ayat dibawah ini cukup menjadi bukti paling sakral bahwa betapa indahnya Rasulullah, bukan sekedar tutur dan uswahnya, tetapi seluruhnya.
وَإِذَا سَمِعُواْ مَآ أُنزِلَ إِلَى ٱلرَّسُولِ تَرَىٰٓ أَعۡيُنَهُمۡ تَفِيضُ مِنَ ٱلدَّمۡعِ مِمَّا عَرَفُواْ مِنَ ٱلۡحَقِّۖ يَقُولُونَ رَبَّنَآ ءَامَنَّا فَٱكۡتُبۡنَا مَعَ ٱلشَّٰهِدِينَ
Artinya: “Dan ketika mereka mendengar apa yang diturunkan kepada Rasul, mata mereka meluap dengan air mata karena mengenal kebenaran, seraya berkata: Ya Tuhan kami, kami telah beriman kepada-Mu dan ikuti Rasul-Mu.”QS. Al-Maidah ayat 83.
Salah satu skenario cantik Allah Swt dalam membimbing Nabi adalah ketika menjelang hijrah ke Madinah. Sebelum hijrah ke kota kaum Anshar itu, Allah telah menempa Nabi melalui perjalanan Isra’ Mi’raj. Perjalanan malam agung yang penuh hikmah. Perjalanan Isra’ Mi’raj merupakan peristiwa yang ‘sulit dinalar logika’. Bagaimana mungkin, perjalanan sejauh itu hanya ditempuh dalam satu malam. Perjalanan dari Masjidil Haram menuju Baitul Maqdis, dan dari Baitul Maqdis menuju langit dunia sampai akhirnya Nabi Muhammad saw bertemu dengan Rabb-nya langsung, tanpa ada penghalang (hijab).
Berkenaan dengan hal ini, Syekh Fakhruddin al-Razi (w. 1210 M.) menuturkan:
أنه عليه الصلاة والسلام لما ذكر لهم قصة الإسراء كذبوه وكفر به كثير ممن كان آمن به وازداد المخلصون إيماناً فلهذا السبب كان امتحاناً
“Ketika Rasulullah saw menceritakan kisah Isra’ Mi’raj pada kaumnya, banyak yang tidak percaya. Mereka yang semula beriman, banyak yang menjadi kufur. Sementara mereka yang tulus, semkain tambah keimanannya. Inilah mengapa disebut cobaan.” (Mafatih al-Ghaib, juz 20, hlm. 238).
Rasulullah saw turun ke langit dunia dan sampai di Makkah menjelang waktu subuh. Beliau memasuki masjid. Tapi, ada sesuatu yang mengganjal dalam diri Rasulullah. Jangan-jangan umatnya tidak akan mempercayainya? pikir beliau.
Sebagaimana dituliskan oleh Syekh Abi al-Faraj Nuruddin ‘Ali Burhan dalam as-Sirah al-Halbiyah (juz 1, hlm. 1-3), Sayyid Muhammad ‘Alawi al-Maliki dalam al-Anwar al-Ilahiyyah fi Isra’i wal Mi’raji Khairil Bariyyah (hlm. 79) dan beberapa kitab terkait lainnya. Perjalanan Isra’ Mir’aj telah usai.
Sampai Rasulullah bersedih. Lalu beliau duduk. Tiba-tiba Abu Jahal lewat dan menghampiri beliau. Abu Jahal duduk di samping Rasulullah. Dengan nada seperti mengejek, Abu Jahal bertanya, “Apakah ada berita yang ajaib, Muhammad?!” “Iya,” Jawab Rasulullah. “Apa itu,” tanya Abu Jahal penasaran. “Aku telah di-isra’kan tadi malam,” jawab Rasulullah. “Ke mana?” tanya Abu Jahal. “Ke Baitul Maqdis,” jawab Rasulullah. “Loh kok, sepagi ini sudah berada di sini?” tanya Abu Jahal semakin penasaran. Bagaimana mungkin perjalanan sejauh itu ditempuh hanya dalam satu malam. “’Iya,” jawab Rasulullah.
Baca Juga : Amalan Kontinu-Amalan Paling di cintai Allah
Abu Jahal tidak mengingkari apa yang diucapkan Rasulullah. Jika begitu, ia khawatir Rasulullah akan berpaling. Justru ini kesempatan baginya untuk mempermalukan Rasulullah di depan umatnya. “Kalau Muhammad menceritakan kisah tidak masuk akal ini pada umatnya, pasti banyak yang tidak percaya,” pikir Abu Jahal.
Musuh Allah itu mulai menyiapkan rencana busuk. “Wahai Muhammad! Bagaimana menurutmu, jika aku undang kaummu saja? Apakah kamu berkenan untuk menceritakan pada mereka tentang apa yang kau ceritakan padaku tadi?” Tawar Abu Jahal. “Ya, saya mau,” jawab Rasulullah. Tanpa pikir panjang. Abu Jahal pun melancarkan rencana busuknya itu. Dengan demikian, umat Muhammad tidak akan mempercayainya, pikir Abu Jahal. “Wahai kaum keturunan Bani Ba’ab bin Lu’ayy! Datanglah kalian semua kemari!” seru Abu Jahal. Singkat cerita, orang-orang berdatangan mendengar seruan Abu Jahal tadi. Mereka sudah berada di depan Rasulullah dan Abu Jahal duduk. “Wahai Muhammad! Ceritakan pada kaummu, apa yang baru saja kau ceritakan padaku,” desak Abu Jahal.
Rasulullah pun mulai bercerita, “Sesungguhnya tadi malam saya telah di-isra’kan.” “Ke mana?” orang-orang penasaran. “Ke Baitul Maqdis.” “Lalu, sepagi ini engkau sudah berada di tengah-tengah kami?” “Iya, benar.” Mendengar keganjilan itu, orang-orang mulai gaduh. Ada yang bertepuk tangan, ada pula yang meletakkan tangan di kepala sebagai ekspresi rasa kagum. Begitulah cara orang Arab mengekspresikan kekagumannya. Tampaknya rencana Abu Jahal mulai berhasil. Sebentar lagi kaumnya tidak mempercayainya lagi. Salah seorang dari mereka yang bernama Muth’im bin ‘Adi berkata, “Wahai Muhammad! Sebelum ini, semua ceritamu biasa-biasa saja. Tapi sekarang tidak lagi,” ungkap Muth’im mengungkapkan keraguannya. (Muth’im adalah salah satu orang kafir saat itu).
Rasulullah menuruti permintaan kaumnya dan menjelaskan dengan detail bentuk Baitul Maqdis seperti apa; arsitekturnya, jaraknya dari gunung, dan hal-hal lainnya. Hanya satu yang tidak bisa beliau jelaskan, berapa jumlah pintu Baitul Maqdis. Namun, atas kuasa Allah, Nabi Muhammad diperlihatkan gambar Baitul Maqdis di rumah ‘Aqil bin Abi Thalib. Rasulullah pun bisa menyebutkan jumlah pintu itu.
Setelah penjelasan Rasulullah itu, tiba-tiba Abu Bakar berkata, “Benar engkau ya Rasulullah! Engkau memang benar! Saya bersaksi bahwa engkau adalah utusan Allah.”
Orang-orang Quraisy kagum dengan apa yang baru saja Rasulullah ceritakan. Tidak ada yang meleset sedikit pun. Meski begitu, tidak kemudian mereka menyatakan beriman. Bahkan mereka yang kufur semakin kufur, tidak percaya. Peristiwa ini juga menjadi ujian keimanan bagi orang muslim; mereka yang tulus beriman, semakin bertambah keimanannya. Sementara mereka yang masih lemah iman, tidak sedikit menjadi kufur (Mafatih al-Ghaib, juz 20, hlm. 238).
Prof. Dr. H. M. Quraish Shihab, M.A. dalam Membaca Sirah Nabi Muhammad SAW (2018) menegaskan bahwa peristiwa Isra Mi’raj tidak bisa didekati dengan pendekatan ilmiah. Karena, pendekatan ilmiah harus berdasarkan pada pengamatan, trial and error, serta eksperimen. Dan ketiganya tidak mungkin diterapkan pada Isra Mi’raj. Isra Mi’raj hanya terjadi sekali, tidak bisa dilakukan aneka eksperimen untuk membuktikannya karena Isra Mi’raj tidak menggunakan ‘alat.’
Ada banyak hal yang amat penting di teladani, bahkan jauh sebelum Isra’ Mikraj, yakni tentang kesabaran, ketangguhan hati baginda dan sifat mulia lainnya yang tiada mampu manusia meniru seluruhnya.
KH. Zakky Mubarak, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) berkata : Keridhaan Allah adalah dambaan setiap orang yang beriman, sedangkan rahmat-Nya dapat mengalahkan segala kesulitan yang diderita umat manusia, betapa pun beratnya. Banyak orang yang kelihatannya menderita dalam kehidupan dunia, tetapi sebenarnya merasakan kebahagiaan batin yang tidak dirasakan orang lain.
Seorang yang bertakwa kepada Allah swt. dengan takwa yang setinggi-tingginya akan merasakan bahagia meskipun dalam kesederhanaan materi, ia akan merasa ramai meskipun sendirian, ia akan merasa berani meskipun tanpa pendukung. Ia akan memiliki dada yang lapang, bagaikan samudera yang tidak bertepi, bila memperoleh nikmat ia bersyukur dan bila terkena musibah ia tabah dan sabar. Wallahua’lam.
Leave a Reply