Siapa yang tak permai kala duduk di bawah atap megah dengan ruangan sedap dan bersih? Di tempat nyaman dengan niat tholabul ilmi yang merupakan kesibukan dengan pahala yang begitu akbarnya?
Belajar di dalam bangunan mewah dan menjulang memiliki arti dan gaya tersendiri bagi seorang pelajar.
Suatu hari muridku bertanya, ‘”Mengapa di sini tidak ada gedung dengan lift?” Wajah mereka berseri penasaran, lalu kujawab:
‘’Gedung yang tinggi dan kelas yang mewah hanyalah tumpukan dari beberapa batu bata dan pasir.‘’ Kemudian mereka terdiam lama sekali.
Seperti perkataan Ibrahim Datuk Sutan Malaka (Tan Malaka), ‘’Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, dan memperhalus perasaan.‘’
Jadi bukan tentang tempat, tapi tentang siapa.
Memang sistem pendidikan dunia barat begitu mutakhir di dunia, tapi sejarah tetap menulis bahwa univeritas pertama di dunia lahir dari seorang rahim perempuan muslim, Universitas Al-Qawariyyin, berdiri pada tahun 859 M, di kota Fez Maroko, dari inisiatif Fatimah Al Fihri.
Bahkan pemakaian toga yang digunakan pasca selesainya pendidikan masih digunakan hingga sekarang. Upacara wisuda yang mengenakan toga segiempat (kecuali Indonesia yang bersegi lima) adalah terlahir dari Islam, berasal dari kata jubah, dan segiempat yang melambangkan ka’bah, warna hitam yang berarti kiswah, dan hal itu tetap berlaku secara Internasional. Dilaksanakan pasca selesai jenjang akademik yang merupakan copy paste keislaman untuk dunia barat.
Bukan hanya demikian, kurikulum pelajaran barat, buku dasar rujukannya masih banyak menggunakan tulisan-tulisan ilmuwan Islam. Seperti di bidang medis, kitab Qanun fi Al-Tibb (Canon of Medicine) karya Ibnu Sina, bahkan menjadi buku rujukan pengobatan di Eropa selama kurang lebih 5 abad. Jadi tak heran, hingga sampai sekarang Ibnu Sina dikenal bapak kedokteran secara Internasional.
Dan masih banyak ilmuan muslim dunia yang teramat penting bagi peradaban kemajuan dunia, seperti Al-Khawarizmi dengan teori Aljabarnya, Ibnu Haytam dikenal sebagai bapak optik modern dengan karya kitab Al-Manazirnya, Jabir Ibnu Hayyam degan kitab Kimya-nya.
Keterangan di atas mendefisinikan betapa dunia barat begitu mencopy paste sistem pendidikan Islam dan para ilmuwan Islam, dahulu orang-orang barat sibuk dengan berdebat keagamaan, dari gereja ke gereja, berdebat sengit antara Kristen dan Protestan. Sedangkan peradaban Muslim sibuk dengan perdebatan keilmuan, sibuk dengan penemuan dan inovasi-inovasi cemerlang.
Tapi, itu dahulu, dan saat ini, tatkala orang-orang barat telah berkecimpung di berbagai keilmuan, teknologi, dan beragam inovasi, dunia Islam malah sibuk berdebat akidah yang tiada ujung, seperti rumor apakah maulid Nabi bid’ah atau wajib dan sunnah? Padahal pembahasan itu telah rampung dirunding oleh ulama-ulama dahulu kala.
Maka tak salah pemuda-pemudi masa sekarang lebih perhatian dan cita-cita pendidikan lebih teralihkan ke dunia barat. Akankah kejayaan keilmuan umat Islam perlu menunggu Imam Mahdi turun ke bumi? Lalu sadar dan berjaya lagi?
Maka kami sebagai seorang mahasantri, mahasiswa, dan pelajar di berbagai penjuru Negeri, tak mesti pesimis atau patah arang untuk bermanfaat, di samping leluhur guru-guru kita menjadi tokoh-tokoh besar, seorang pelajar bukan manusia biasa, tapi manusia sederhana penuh multitalenta.
Ilmu itu bisa dicari di manapun, bahkan terkadang sekolah bukan tempat yang nyaman buat belajar, entah karena guru atau peraturan yang tidak disuka, atau memang dari pelajarnya.
Dan jika tempat menjadi alasan utama untuk bisa mengubah dunia, sepertinya gagasan di atas cukup untuk menjawabnya. Tapi terlepas dari itu semua, pesantren adalah bioskop terbaik untuk menonton sistem pendidikan terbaik. Wallahu A’lam.
Penulis : M Akmal Marzuqin, santri, dan bisa disapa di akun ig-nya @ma.marzuqin
Leave a Reply