Berjutapena.or.id,- “Menjaga hal-hal lama yang masih baik, dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. tidak boleh bersikap apriori, selalu menerima yang lama dan menolak sesuatu yang baru atau sebaliknya. . .” (KH. Muchit Muzadi, “NU dalam prespektif sejarah dan ajaran”: refleksi 65 tahun ikut NU).
Slogan yang senantiasa digemakan sebagai prinsip dasar sikap ke-NU-an dalam menghadapi Al Masailul jadidatu wal mustajaddati. Sementara muktamar baru saja digelar. Rais Aam dan Ketua Umum PBNU telah ditetapkan. Maka kerangka besar pun perlu dikonsep untuk masa mendatang. Untuk membaca dan menyadari, hal ihwal apa saja yang akan menjadi tantangan Nahdathul Ulama selama beberapa tahun ke depan.
Tantangan menjelang seabad NU
Di tahun 2026 tepat di mana usia NU genap seabad, maka lilin-lilin harapan pun dinyalakan untuk merayakan. Bukan tentang kemenangan. Tapi kesadaran akan berbenah dan langkah-langkah ke depan. Nur Khalid Ridwan sebagai salah satu elite pemuda NU, telah lebih dulu memberi ulasan bahwa menjelang seabad usia, NU harus jeli melihat tantangan ke depan. Setidaknya ada dua gelombang arus besar yang melanda masyarakat modern saat ini termasuk pula masyarakat yang berbasis NU. Yakni globalisasi neoliberal. Globalisasi neoliberal merupakan penerus ideologi kapitalisme. Aliran ini sepenuhnya menggencarkan gerakan pasar bebas dan tidak mengutamakan pemerataan. hal ini berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat yang bisa dilihat dari stabilitas ekonomi. Kesenjangan antar masyarakat akan semakin kentara. Bila bias dari aliran tersebut merebak ke seluruh lapisan kultur masyarakat. Terlebih di negara berkembang seperti Indonesia.
Dalam keadaan seperti ini, tentu Kelahiran ekonom-ekonom muda NU sangat diperlukan. Sebab hal ini juga nanti yang akan memetakan dan menjalankan beberapa aspek seperti pelayanan sosial, perusahaaan-perusahaan swasta, usaha-usaha perbankan, produktifitas umat NU dalam penentu kebijakan baik ekonomi ataupun tatanan sosial masyarakat Indonesia. Maka insttusi-institusi pendidikan sebagai cagar alam intelektual muda NU khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya perlu mendesain kembali proses pembelajaran, pengembangan, di beberapa bidang seperti politik, budaya, ekonomi. Sebab kita tidak ingin NU besar secara kapasitas tapi minim dalam beberapa posisi strategis bangsa.
Maka gelombang pasang berikutnya adalah pengaruh globalisasi terhadap Islam. Yang dalam hal ini berkenaan dengan apa yang disebut peradaban Islam. Masyarakat Indonesia juga tidak akan luput dari pengaruh tersebut. Pula masyarakat NU. Nurcholish Madjid menyatakan bahwa peradaban Islam adalah peradaban kaum muslim, atau dengan kata lain peradaban Islam ialah hasil ciptaan kaum muslim yang mempunyai komitmen terhadap Islam. Dapatlah pula dikatakan seperti hasil perkembangan dan kemajuan kaum muslim yang meliputi nilai-nilai keIslaman, peranata-peranata keIslaman, adat tradisi, ide pemikiran, tugas-tugas kemanusiaan. Peradaban inilah yang menghadapi tantangan berupa rasionalisme, sekularisme, nasionalisme, in-toleransi, pluralisme, dan akulturasi budaya yang kesemuanya merupakan lempeng-lempeng modernitas dan globalisasi. Maka di sinilah pentingnya adanya dialektika dalam tubuh NU pada konteks keindonesiaan dengan keniscayaan modernitas baik tentang wahyu, sejarah, dan prinsip murunatu dalam kultur NU terhadap Al Masailul jadidatu wal mustajaddati sebagaimana mukadimah di atas.
Menimbang kerangka besar: NU, Budaya, dan Media Massa
Hal yang amat dirasakan setelah muktamar ke-34 adalah kerangka seperti apa dan bagaimana NU ke depan. Bahtera yang di dalamnya mengangkut sebagian masyarakat Indonesia berkisar 49,5 % atau 180 juta orang dari 87 % penduduk muslim di Indonesia yang kurang lebih 250 juta penduduk. (LSI, Denny JA 18-25 februari 2019). Seperti apa langkah taktis berikutnya. Sebuah ungkapan yang cukup menarik dari Tengara dari Erich Fromm, seorang humanis, dalam buku versi Indonesia berjudul Masyarakat Sehat (1995) memberikan pernyataan menarik adanya simpul akal budi yang mati justru di abad industrialisasi media, “Sejak abad ke-19 sampai sekarang, telah terjadi pertambahan kebodohan yang kian menonjol, saya menyebutnya kebodohan yang dipertentangkan dengan akal budi dan bukan dengan intelegensi. Sebab hampir tiap orang sudah membaca koran sebagai santapan harian, namun tak ada pemahaman akan makna peristiwa-peristiwa politik yang sesungguhnya sedang mengancam, karena intelegensi kita membantu memproduksi senjata-senjata, di mana akal budi kita tak mampu mengendalikannya”.
Maka budaya NU yang dalam hal ini bukan amaliyah keagamaan yang terus menerus dilakukan hingga menjadi budaya tersendiri tapi juga menempa produktifitas pada aspek yang lain, seperti budaya baca, tulis, dan eksistensi media dalam pemanfaatannya. Menjadi ingatan segar bahwa titik keemasan Islam terjadi dengan beberapa faktor yang di antaranya terdapat gerakan menulis dan menerjemahkan teks-teks keilmuan manapun. Sebab hal tersebut merupakan faktor yang dominan dan mendekati atas sebab kejayaan islam. Baca-tulis sesungguhnya tidaklah sulit mengingat keduanya merupakan keterampilan. Kemahiran sebuah keterampilan hanyalah hukum kali dari berapa sering kita melakukannya. Akselerasi kemahiran baca-tulis dengan sendirinya menuntut frekuensi optimal jika menginginkan hasilnya maksimal pula. Masyarakat berbudaya baca-tulis akan menjadi aset besar bagi suatu bangsa. Jika NU telah berada pada periode di mana tiga ungkapan berikut berakar, berurat, berdegup “Membaca dapat Merusak Kebodohan(mu), Berhentilah Menulis bila Huruf Abjad telah Berjumlah 27, Bermedia dengan Rasa Kemanusiaan, Bermedia sebagai Simpul Peradaban” maka bukan tidak mungkin bila NU akan lebih hidup dengan atmosfer baru yang berpotensi menuju organisasi yang adiluhung. Bagi indonesia. Bahkan dunia. Mari budayakan !
Penulis : Shovy al-bukhory (Santri Salafiyah- Syafi’iyyah Sukorejo, Situbondo)
Leave a Reply