Berjutapena.or.id,- Di balik lahirnya Pancasila ada peran seorang Kyai yang ada di dalam keanggotaan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yaitu KH. Wahid Hasyim yang mana beliau adalah seorang putra dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari dan seorang abah dari presiden ke 4 Indonesia yaitu KH. Abdurahman Wahid yang biasa kita sebut dengan sapaan Gus Dur.
Selain sosok KH. Wahid Hasyim ada salah satu ulama yang ikut turut serta atas terbentuknya pacasila yaitu KH. Maskur, beliau adalah salah satu anggota dari BPUPKI yang mana beliau merupakan anggota termuda bersama KH. Wahid Hasyim.
KH. Wahid Hasyim berperan mampu menjabarkan Pancasila secara teologis dan filosofis terhadap rumusan awal yang diajukan oleh Presiden Pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945, selain itu beliau juga menegaskan bahwa umat islam Indonesia sebagai mayoritas menunjukkan sikap inklusifitasnya terhadap seluruh bangsa Indonesia yang majemuk sehingga
Pancasila merupakan dasar negara yang merepresentasikan seluruh bangsa Indonesia.
Sebelum terbentuknya Pancasila ayah beliau Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari menirakati dengan berpuasa selama 3 hari. Setelah menirakati, kemudian Hadratussyeikh KH. Hasyim Asy’ari memanggil beliau dan mengatakan bahwa Pancasila sudah betul secara syar’i sehingga apa yang tertulis dalam Piagam Jakarta (Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) perlu dihapus karena Ketuhanan Yang Maha Esa adalah prinsip ketauhidan dalam Islam.
Selain beliau berdua, ada salah satu sosok kyai yang terkenal yang ada di Situbondo yaitu KH. As’ad Syamsul Arifin, beliau adalah pengasuh ke 2 pondok pesantren Salafiyah Safi’iyah Sukorejo Situbondo, beliau adalah salah satu murid dari hadratus syekh KH Kholil Bangkalan. Beliau juga merupakan salah seorang sosok sentral di balik penerimaan NU atas Pancasila itu. Ia tampil dengan datang menemui Presiden Soeharto guna klarifikasi atas maksud dari Pancasila tersebut, yakni memastikan bahwa ideologi yang terkandung tidak akan menggantikan agama Islam. Kepastian itu diperolehnya sehingga ia memutuskan untuk menerima Pancasila.
Dengan pandagan personal KH. As’ad itu juga dikukuhkan menjadi pandangan komunal secara organisasi yang diputuskan di pondok pesantren yang ia dirikan, yakni Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah Sukorejo, Situbondo, Jawa Timur pada agenda Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama Nahdlatul Ulama tahun 1983. Pandangan itu juga dipertegas saat Muktamar Ke-27 Nahdlatul Ulama Tahun 1984 di tempat yang sama.
KH Abdul Muchit Muzadi dalam NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran (2006) menyampaikan tiga alasan NU menerima Pancasila.
1. NU saat pendiriannya tidak mencantumkan asas organisasi, melainkan langsung menyebut tujuannya. Hal ini berubah ketika NU menjadi partai politik pada tahun 1952 dengan mencantumkan asas Islam, sebagaimana partai lain mencantumkan ideologinya.
2. Islam bukanlah ideologi, melainkan agama. Ideologi, jelasnya, merupakan hasil pemikiran manusia, sementara Islam langsung dari Allah SWT. Tuhan semesta alam.
3. Lanjutnya, asas organisasi tidak harus agama, bisa berdasarkan nilai-nilai universal seperti keadilan, kerakyatan, kekeluargaan, dan sebagainya.
Kiai Masykur dan Kiai Wahid menegaskan bahwa Pancasila dirumuskan dengan tanpa sedikit pun menafikan nilai-nilai keislaman. Meskipun tidak secara eksplisit mendasarkan negara ini pada Islam, tetapi nilai-nilai Islam menjadi kandungan penting bagi Pancasila. Artinya, Islam menjadi pondasi bagi negara ini.
Editor : Rekan Robet
Leave a Reply