Filsuf Merupakan Pemikir Radikal

Berjutapena.or.id,- Sekitar dua ratus tahun setelah Islam lahir, tasawuf muncul sebagai dimensi batin Islam. Tasawuf muncul tepat pada abad ke-9 Masehi. Jauh sebelum tasawuf muncul, ajaran-ajaran etis dan moral Islam telah menyebar luas, serta sudah banyak kalangan yang menerimanya. Inilah yang memungkinkan tasawuf tumbuh subur di Timur Tengah dan negara-negara muslim.

Siapapun yang mengamalkan tasawuf disebut sebagai sufi. Makna dari sufi dalam kajian bahasa Arab adalah “suci” dan “wol”. Artinya, para sufi terdahulu mengenakan mantel wol sederhana dan mencari kesucian batiniah. Sedangkan sosok yang mengajarkan dan menuntun disebut sebagai ‘mursyid’.

Pandangan seseorang terhadap kaum sufi, terlebih orang awam sangatlah tidak baik. Hal ini dikarenakan kaum sufi berpandangan bahwa, tidak ada di dunia ini kecuali hanya Allah SWT. Sudah barang tentu, akal sehat manusia tidak akan terima apabila meniadakan sesuatu yang kasat mata (adanya ciptaan Allah SWT) dan menganggap ada sesuatu yang tak kasat mata (Allah SWT). Betapa pun benar pandangan seorang sufi, tetapi akal kita tetap tidak akan terima perihal tersebut. Alih-alih orang awam, sosok Imam Al-Ghazali—yang dianggap sebagai tokoh sufi berpengaruh—juga tidak setuju terhadap pandangan itu. Alasannya, mereka (kaum sufi) menjauhkan logika dan akal, serta tidak mengontrol.

Cara Berpikir Seorang Filsuf

Sidi Gazalba dalam sistematika filsafat mengklasifikasi cara berpikir filosofis menjadi tiga macam:

Pertama, universal. Seorang filsuf memiliki cara berpikir yang meluas atau komprehensif. Artinya, Ia tidak hanya mempertimbangkan satu atau dua pertimbangan, melainkan banyak pertimbangan baru kemudian bertindak dengan bijak. Semisal, di Amerika, sangat kental penganut liberalisme. Setiap individu memiliki hak kebebasan masing-masing. Bahkan, ketika ada seseorang yang membantu orang lain dengan dalih orang itu miskin, maka akan dianggap jelek oleh orang-orang disekitarnya. Mengapa?, karena dia memperdulikan hidup orang lain, tidak hanya mengatur kehidupannya sendiri saja.

Memang, disatu sisi ada dampak positif yang diterima oleh setiap individu, yakni kebebasan atas dirinya untuk melakukan apapun. Namun, seorang filsuf akan berpikir secara universal bahwa, ketika ada orang yang menolong orang lain, kemudian diklaim tidak baik, tentu itu salah. Karena, seorang filsuf memandang dari banyak aspek. Baik aspek sosial, agama, polotik, dan lain-lain. Dari banyak aspek itulah baru kemudian muncul kesimpulan atau tindakan atas kejadian di Amerika bahwa hal itu keliru.

Kedua, sistematis. Sebuah usaha untuk menguraikan suatu hal dengan teratur dan logis. Semisal, ada orang yang bertanya alamat rumahnya Fikri. Kemudian jika orang yang ditanya tadi berpikir sistematis, seharusnya; “rumahnya itu masuk gang Anggrek, terus lurus saja kemudian dikiri jalan ada rumah warna merah maron, itulah rumahnya Fikri”. Berbeda kalau orang yang ditanya tadi tidak berpikir sistematis, ia mungkin langsung mengatakan; “rumahnya Fikri itu yang warna merah maron”. Kita bisa bandingkan kira-kira lebih membingungkan jawaban orang yang berpikir sistematis atau sebaliknya.

Ketiga, radikal. Kata “radikal” berasal dari bahasa latin radix yang artinya akar. Artinya, apapun  yang dikaji atau yang dibahas, baik berupa pertanyaan, serta jawabannya bersifat mendalam. Semisal, seorang filsuf menganggap atau menyimpulkan bahwa di dunia ini tidak ada apapun atau siapa pun selain Allah SWT. Hasil kesimpulan itu berasal dari pemikirannya yang radikal tentang hakikat Tuhan. Poin ketiga inilah yang menjadi fokus pembahasan.

Filsuf Merupakan Pemikir Radikal

Dibenak saya, masih terekam kuat tentang cerita Syekh Siti Jenar. Beliau dikenal sebagai salah satu sosok yang penyebarkan ajaran Islam di Nusantara. Selain itu, beliau juga dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai sosok yang sesat. Karena, Syekh Siti Jenar telah sampai kepada tingkatan waliyullah. Sehingga, beliau menyimpulkan bahwa “saya ini Allah SWT, tidak ada Jenar, yang ada hanyalah Allah”. Dari sinilah kemudian masyarakat menilai bahwa ajaran beliau sesat dan ditolak.

Kesimpulan yang muncul dari kisah Syekh Siti Jenar berasal dari cara berpikir beliau yang radikal. Artinya, beliau telah mempelajari secara mendalam tentang pengetahuan Tuhan dan ciptaannya. Kurang lebih alur pemikiran beliau yakni; Tuhan hanya ada satu dan tidak boleh disekutukan. Disatu sisi, ada ciptaan Tuhan, termasuk saya (Syekh Siti Jenar). Maka sang penciptalah yang harus didahulukan daripada ciptaannya. Kemudian muncul kesimpulan dari beliau bahwa, tidak ada apapun dan siapa pun di dunia ini kecuali Allah SWT. Yang lebih ekstrim lagi beliau mengaku sebagai Allah SWT.

Dari pembahasan diatas yang perlu digaris bawahi adalah setiap orang berada diposisinya masing-masing. Jangan pernah mudah menyalahkan apa yang tampak bagi kita. yang Terpenting adalah berpikirlah terlebih dahulu, baru kemudian bertindak atau mengklaim. dan yang Saya maksud dalam tulisan ini tentang radikal adalah cara berpikirnya seorang filsuf yang sangat mendalam.

 

Editor : Rekanita Lilik