Jalur Nugraha Ekakurir (JNE) pada tahun 2024 telah menerima beberapa penghargaan. Salah satunya adalah penghargaan yang diberikan oleh Baitul Maal Hidayatullah (BMH) kepada JNE atas programnya yang berupa pengiriman satu juta Al-Qur’an. Ini menunjukkan bahwa kemampuan pihak perusahaan JNE dalam mengasah dan mengembangkan kreativitasnya tidak diragukan lagi. Namun, terdapat satu hal yang perlu diragukan dan diperhatikan secara khusus oleh pihak JNE.
Satu hal yang saya maksud adalah adanya rasa gengsi pada diri pekerja karena bekerja sebagai kurir JNE yang notabene mengantar dan menjemput barang. Bahkan boleh jadi rasa gengsi itu terdapat dalam keluarga yang suami atau saudara bekerja sebagai kurir JNE. Jika rasa gengsi ini dibiarkan begitu saja tanpa ada solusi maka dapat dipastikan seseorang yang bekerja sebagai kurir JNE tidak akan fokus bekerja dan akan mengurangi semangat. Itulah mengapa hal ini agar menjadi perhatian khusus bagi pihak perusahaan JNE.
Rasa gengsi itu muncul karena pekerjaan sebagai kurir JNE—yang notabene mengantar dan menjemput barang—konotasinya adalah sebagai pekerjaan yang rendahan. Dengan kata lain, pekerjaan sebagai kurir tersebut memiliki ‘kelogisan’ untuk dikatakan rendahan. Jika boleh menggunakan bahasa kasar adalah seakan-akan pekerjaan tersebut ‘memperbudak’ karyawan JNE. Karena seharusnya, jika saya semisal, ingin meminjam barang ke orang lain maka saya yang harus datang untuk mengambilnya, bukan malah kurir JNE, karena jelas-jelas saya yang membutuhkan. Sekali lagi saya tegaskan bahwa pekerjaan tersebut ‘konotasinya’ merupakan pekerjaan yang memperbudak karyawan. Oleh karena itu, dari konotasi ini kemudian muncul rasa gengsi pada diri setiap karyawan untuk bekerja sebagai kurir JNE. Bahkan, yang lebih ekstrim lagi bukan hanya pihak kurir yang merasa gengsi tetapi boleh jadi anak yang memiliki ayah sebagai kurir JNE juga ikut merasa gengsi. Kemudian, rasa gengsi itu berdampak pada semangat kerja ayahnya sebagai kurir JNE. Karena, boleh jadi anak tersebut di lain waktu bilang kepada ayahnya kalau dia malu mempunyai ayah yang bekerja sebagai pengantar dan penjemput barang.
Perihal kelogisan itu sesuai dengan teori dalam ilmu usul fikih yang berupa Isyarah al-Nash. Pengertiannya adalah makna yang tidak bisa segera dipahami dari lafazh-lafazhnya (Al-Qur’an) dan juga tidak dimaksudkan dari redaksinya. Artinya, kita bisa memahami maksud dari Al-Qur’an melalui isyarat dari teks-teks tersebut. Jika kita sesuaikan bahwa adanya pekerjaan JNE merupakan teks-teks Al-Qur’an itu sendiri. Kemudian, mengenai tugas mengantar barang atau menjamput barang merupakan redaksi Al-Qur’an. Lalu, dari redaksi tersebut timbul konsekuensi logis yaitu—yang saya sebut sebagai konotasi—pekerjaan rendahan. Karena, sekali lagi salah satu tugas dari kurir JNE adalah mengantar dan menjemput barang. Itulah bukti bahwa konotasi dari pekerjaan JNE sangat berpengaruh terhadap semangat kerja.
Pengaruh Logika Pada Kehidupan Nyata
Kalau mau diartikan secara mudah, logika adalah bagaimana agar cara berpikir kita terhadap suatu objek dengan benar, teratur dan dapat dipastikan tidak keliru. Hal ini sangat erat kaitannya dengan sejarah. Dalam Sejarah Yunani Kuno bapak logika adalah Aristoteles. Salah satu produk logikanya yaitu pengetahuan baru dapat diperoleh dari dua cara, yakni induksi dan deduksi. Induksi bergantung pada pengetahuan indrawi sedangkan deduksi (silogisme) terlepas dari pengetahuan indrawi. Itulah mengapa kemudian Aristoteles menganggap deduksi sebagai cara sempurna untuk memperoleh pengetahuan baru. Pemikiran Aristoteles ini bisa kita jumpai di bidang ilmu apa saja. Terutama ilmu hukum yang mengharuskan adanya bukti konkret untuk membuktikan kalau terdakwa memang salah dan pantas menerima hukuman.
Selain Aristoteles, ada tokoh besar dari Islam yang pemikirannya (logikanya) sangat matang yaitu Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali. Salah satu pemikiran yang beliau tawarkan adalah tentang cara memperoleh ilmu. Yakni berupa analogi bahwa kolam yang diisi melalui air sungai pasti berbeda dengan kolam yang diisi melalui penggalian tanah hingga bersumber mata air. Hasil yang kedua, air kolamnya akan lebih jernih dan tahan lama (tidak akan habis-habis). Sedangkan kolam dari air sungai akan sedikit keruh dan kemungkinan mudah surut.
Pemikiran beliau ini benar adanya ketika ada bukti riil bahwa ilmu yang diperoleh melalui wahyu (ilmunya para Nabi) akan lebih berkualitas dari pada ilmu yang diperoleh melalui belajar (ilmunya para Ulama). Saya rasa itulah mengapa kemudian Imam Al-Ghazali dijuluki sebagai Hujjah Al-Islam (argumentasinya orang-orang Islam).
Coba kita lihat—secara riil—masyarakat di sekitar kita bagaimana cara pandang (logika) mereka. Jika pandangannya negatif maka dapat dipastikan tingkah lakunya akan negatif pula. Sering kita lihat orang-orang dengan ekspresi susah. Ketika orang itu ditanya, ternyata sedang memikirkan cara melunasi utang. Itulah bukti bahwa logika atau pemikiran sangat berpengaruh kepada kehidupan nyata. Lantas, apakah akan semangat bekerjanya para kurir JNE jika mereka berpandangan bahwa pekerjaan ini rendahan?!
Dua Logika Yang Sering Salah Pakai
Ada dua logika atau pandangan yang sering kali salah pakai. Yaitu logika tentang ilmu dan logika tentang ekonomi. Dalam mencari ilmu kita harus selalu semangat dan tekun. Bahkan, kita diperbolehkan untuk iri kepada orang yang ilmunya lebih banyak dari kita. Artinya, dalam mencari ilmu kita harus melihat orang di atas kita. Sedangkan logika dalam ekonomi adalah selalu mensyukuri apa yang ada dan selalu melihat orang-orang yang perekonomiannya di bawah kita.
Dari dua logika itu terkadang masih banyak orang-orang yang salah pakai. Artinya, ketika mencari ilmu, menggunakan logika ekonomi dan ketika berbisnis atau bekerja menggunakan logika mencari ilmu. Sehingga dampaknya adalah akan malas mencari ilmu karena berpandangan bahwa kita sudah banyak ilmu (memandang orang di bawahnya). Bagi orang yang berbisnis atau bekerja jika menggunakan logika mencari ilmu—melihat orang di atas kita—maka tidak akan pernah puas atas apa yang dimilikinya dan akan selalu merasa kurang.
Logika Yang Harus Digunakan
Dalam urusan ekonomi, khususnya para kurir JNE harus menggunakan logika ekonomi yaitu kita harus melihat orang yang ada di bawah kita. Artinya, para kurir JNE seharusnya bersyukur tidak seperti buruh tani yang selalu ada di bawah Terik matahari. Dengan begitu, nantinya akan timbul rasa cukup atas pekerjaannya. Kalau sudah ada rasa cukup atas pekerjaannya maka sudah barang tentu tidak akan ada rasa gengsi atas pekerjaannya. Kalua sudah tidak ada rasa gengsi atas pekerjaannya maka dapat dipastikan akan selalu semangat bekerja dan selalu meningkatkan kreativitasnya. Saya sangat yakin bahwa tulisan ini relevan sekali atas tema yang diusung oleh pihak panitia yaitu ‘Gasss Terus Semangat Kreativitasnya’.
Referensi:
-Kitab Ihya’ Ulumuddin
-Buku Sejarah Filsafat Yunani
Leave a Reply