Pandangan Kiai Afifuddin Muhajir Tentang Pengertian Ulama

Sumber : Facebook S3TV
Sumber : Facebook S3TV

berjutapena.or.id,- K.H. Afifuddin Muhajir merupakan wakil pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyyah Sukorejo, Situbondo. Beliau sangat membidangi studi Fikih dan Usul Fikih, dari sinilah kemudian beliau mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Islam Negeri Walisongo, Semarang tahun 2020 silam. Penganugerahan ini dirasa sangat cocok dan pantas untuk sosok yang akrab disapa Kiai Afif. Saat ini, beliau mengabdi sebagai wakil Rais Aam di organisasi PBNU.

Sering kita dengar pada acara-acara formal seorang MC mengatakan ‘yang terhormat para habaib, para ulama’. Dengan demikian, siapakah yang disebut sebagai ulama? Tulisan ini akan menjelaskan pengertian ulama menurut pandangan Kiai Afifuddin Muhajir. Berikut di bawah ini penjelasannya.

Pandangan Kiai Afifuddin Tentang Ulama

Menurut pandangan beliau, ulama memiliki dua pengertian. Pertama, pengertian secara umum. Kedua, pengertian ulama secara khusus.

Pertama, ulama dengan pengertian umum. Kata ‘ulama’ dalam bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari kata ‘alim’ yang artinya ‘ahli ilmu’. Dengan demikian, orang yang ahli astronomi, ahli atom, ahli matematika, ahli fisika, ahli biologi, dan sebagainya disebut sebagai ulama. Ini pengertian ulama secara umum.

Kedua, ulama dengan pengertian khusus. Pengertian ini sebagaimana dilukiskan dalam Q.S. Fatir, ayat 28:

إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَٰٓؤُا۟

Artinya: Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama.

Dalam pengertian khusus ini seseorang mampu memadukan antara ketakwaan yang tinggi dan keilmuan yang tinggi pula. Beliau melanjutkan bahwa, ilmu merupakan syarat untuk memperoleh ketakwaan. Jika tidak ada ilmu maka sudah barang tentu tidak akan takwa, namun belum tentu orang yang berilmu akan takwa. Karena, betapa banyak saat ini orang yang berilmu tetapi tidak bertakwa.

Pandangan beliau bahwa ilmu sebagai syarat diambil dari konsep ilmu ushul fikih tentang syarat. Dalam ushul fikih, syarat didefinisakan sebagai:

والشرط ما يلزم من عدمه العدم ولا يلزم من وجوده وجود ولا عدم

Artinya: Syarat adalah suatu hal yang apabila dia tidak ada, dapat dipastikan hukum tidak ada. Akan tetapi, kalau dia ada belum tentu hukum ada dan belum tentu tidak ada.

Contoh dari konsep syarat di atas—selain ilmu dan takwa tadi—adalah semisal, wudu merupakan syarat dari sholat. Kalua tidak ada wudu maka tidak aka nada sholat, tetapi kalua ada wudu belum tentu ada sholat dan belum tentu tidak ada sholat. Bisa saja wudu tidak digunakan sholat, melainkan untuk baca Al-Qur’an, semisal.

Dengan demikian, syarat ulama dalam pengertian khusus ini ada dua. Pertama, ilmu yang tinggi. Kedua, ketakwaan yang tinggi. Kemudian antara ilmu dan takwa itu dipadukan. Itulah arti ulama dengan pengertian khusus.

Penjelasan di atas, dikutip dari postingan Instagram Kiai Afifuddin Muhajir beberapa hari yang lalu.

Demikianlah penjelasan pengertian ulama menurut Kiai Afifuddin Muhajir. Semoga bermanfaat. Wallahu A’lam.